Mengenai Saya

Foto saya
Blog ini dimiliki oleh Zawawi Hussain FB : Zawawi Hussain HP : +6013-3405910 email : wanmohdzawawi@gmail.com

Ahad, 28 Oktober 2012

Tafsir Al-Azhar - Juzu' 1 - Pendahuluan

PENDAHULUAN

Dengan nama Allah, Yang Maha Murah, lagi Penyayang. Segala puji-pujian bagi Allah, pemelihara sekalian alam. Selawat disertai salam atas yang paling mulia di antara Rasul-rasul, Muhammad Rasul yang Amin, dan atas sekalian keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Dengan izin tuhan, kita terjemahkan dan kita tafsirkan al-Quran yang mulia ke dalam bahasa Indonesia atau Melayu. Kita sebut atau Melayu, sebab ahli-ahli bahasa Indonesia telah merumuskan kesatuan pendapat pada kongres Bahasa Indonesia tahun 1964 di Medan bahwa bahasa Indonesia itu adalah berasal dan berdasar kepada bahasa Melayu.
Penulis “Tafsir” ini telah membaca syarat-syarat yang dikemukan oleh Ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala peralatannya, tahu pula penafsiran orang yang terdahulu, pula tahu Asbabun Nuzul, yaitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh dan Mansukh, tahu pula ilmu hadis, terutama yang berkenaan dengan ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula ilmu Fiqh, untuk mendudukkan hokum.
Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja mentafsirkan al-Quran. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh Ulama-ulama itu Alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengetahui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. Tuhan di dalam al-Quran sendiri pun pernah berfirman, bahawasanya di atas orang yang mempunyai ilmu ada lagi yang lebih alim. Maka kalau menurut syarat yang dikemukakan Ulama tentang ilmu-ilmu itu, wajiblah ilmu sangat dalam benar lebih dahulu, tidaklah akan jadi “Tafsir” ini dilaksanakan. Jangankan bahasa Arab dengan segala nahwu dan sharafnya, sedangkan bahasa Indonesia sendiri, tempat al-Quran ini akan diterjemahkan dan ditafsirkan, tidaklah penulis “Tafsir” ini termasuk ahli bahasa yang sangat terkemuka, meskipun telah menulis lebih dari 100 buku besar dan kecil di dalam bahasa Indonesia.
Ada pula syarat-syarat lain yang sangat diabaikan oleh Ulama-ulama yang telah terdahulu itu. Iaitu di dalam al-Quran sangat banyak ayat-ayat yang menerangkan soal-soal alam, lautan dengan ombak gelombangnya, kapal dengan pelayarannya, tumbuh-tumbuhannya, angin dan badai, awan membawa hujan, dari hal bintang-bintang dan manazilnya, dan burujnya, demikian juga keadaan matahari dan bulan. Ayat-ayat yang seperti ini jauh lebih banyak daripada ayat-ayat yang mengenai hukum dan Fiqh. Sedangkan penulils “Tafsir” ini tidaklah seorang keluaran Sekolang Tinggi Pertanian, tidak keahlian dalam ilmu Alam.
Di didalam Al-Quran berkali-kali disebut juga soal atom, sedang penulis “Tafsir” ini bukanlah seorang ahli atom. Maka kalau syarat ini hendak dipenuhi juga, pastilah “Tafsir” ini tidak jadi dikerjakan.
Tetapi, sebagai kita katakana tadi ada soal lain yang mendesak, sehingga pekerjaan ini wajib diteruskan. Iaitu sangat bangkitnya minat angkatan muda Islam di tanahair Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi al-Quran di  zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta sekarang angkatan muda Islam mencurahkan minat kepada agamanya, kerana menghadapi rangsangan dan tentangan dari luar dan dari dalam. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, tetapi “rumah telah kelihatan, jalan ke sana tidak tahu”, untuk mereka inilah khusus yang pertama “Tafsir” saya susun.
Yang kedua ialah golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli da’wah. Kadang-kadang mereka pun ada mengetahui banyak atau sedikit bahasa Arab, tetapi kurang pengetahuan umumnya, sehingga mereka pun agak canggung menyampaikan da’wahnya. Padahal mereka mempunyai kewajiban sudah lebih luas daripada mubaligh-mubaligh zaman yang lampau. Dahulu cukuplah jika seorang mubaligh menyampaikan da’wahnya kepada orang kampung yang agama mereka telah menjadi tradisi. Apa saja pun keterangan dan da’wah yang disampaikan kepada mereka, niscaya mereka akan terima. Sekarang ini mubaligh menghadapi bangsa yang mulai cerdas, dengan habisnya buta huruf. Keterangan-keterangan yang didasarkan kepada agama, padahal tidak masuk akal, sudah berani mereka membantahnya. Padahal kalau mereka itu diberi keterangan al-Quran dengan langsung, akan dapatlah lepas mereka dari dahaga jiwa. Maka “Tafsir” kita ini adalah suatu alat penolong bagi mereka ini menyampaikan da’wah itu.
Sebelum kita langsung kepada penafsiran, terlebih dahulu kita beri kata pendahuluan ini, yang di dalamnya akan terbayang ke mana tujuan tafsir. Adapun penafsir ini sendiri, tidaklah seorang yang menempuh spesialisasi di dalam salah satu cabang ilmu Islam, cuma mengetahui secara merata dan meluas pada tiap-tiap cabang ilmu itu. Biasanya ilmu yang meluas rata itu tidaklah mendalam. Laksana seorang doktor membuka praktik untuk umum, tahulah dia serba sedikit dalam tiap cabang ilmu kedoktoran, tetapi ada yang mendalam dalam salah satunya. Kalau sudah mendalam dalam satu ilmu, bernama dia spesialis; misalnya spesialis telinga, kerongkong dan hidung, spesialis mata, spesialis kanker dan sebagainya.
Al-Quran mengandungi segala macam ilmu Islam: Ilmu Tauhid, Tasauf, Fiqh, sejarah, ilmu jiwa, akhlak, ilmu alam dengan segala cabangnya. Yang sehendaknya menulislah segala spesialis ilmu itu dengan vak ilmunya masing-masing mengenai tiap-tiap ayat, dan akan keluarlah tafsir berpuluh bahkan beratus jilid, sebagai uraian masing-masing ayat yang mengenai bintang. Ahli biologi menafsirkan ayat yang mengenai kelahiran manusia dan hidupnya pasangan laki-laki dan perempuan. Seketika membicarakan petir atau kilat, yang memang ada satu surat khas memakai nama, tampil pula ahli ilmu tentang itu. Ketika membicarakan  tentang lebah dengan madunya, atau laba-laba dengan sarangnya yang rapuh, tampil pula ilmu ahli serangga, dan seterusnya. Tafsir yang terlalu amat ideal (cita-cita sangat tinggi) itu tidaklah akan dapat disusun oleh seseorang. Yang sebaiknyalah cara yang kita tempuh sekarang ini, bahwa setiap-tiap ayat ditafsirkan menurut lafaz dan maknanya dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Maka jika ada orang yang berminat menyelidiki kandungan satu ayat lebih mendalam lagi, ditambahnyalah penyelidikan dalam vak itu di dalam kitab-kitab karangan sarjana yang ada di luar tafsir, sehingga kitab itupun menolongnya memahamkan lebih dalam maksud ayat.
Misalnya di dalm surat Saba’ (Surat 34), ayat tiga ada dibacarakan dari hal Dzarrah, yang bererti Atom. Dikatakan dalam ayat itu bahwa bagi Allah tidaklah ada yang tersembunyi, walaupun yang seberat atom di semua langit dan bumi, dan tidak pun yang lebih kechil daripada atom itu, ataupun yang terlebih besar. Semuanya tercatat di dalam kitab yang nyata dan jelas.
Ketika membaca ayat ini kita telah mendapat petunjuk bahwa ada lagi sesuatu yang lebih kecil daripada atom. Al-Quran hanya menyatakan adanya, dan tidaklah dia menguraikan secara terperinci bagaimana adanya yang lebih kecil dari atom itu secara terperinci. Untuk mengetahui ini tidak di dalam Al-Quran lagi tempatnya. Ini sudah diserahkan kepada usaha manusia sendiri.
Oleh kerana itu jika ada orang yang mengatakan bahwa segala ilmu sudah cukup dalam Al-Quran, tidaklah perkataan orang itu benar, yang benar adalah anjuran Al-Quran buat menyelidiki segala cabang ilmu.
Lantaran itu tidaklah salah kalau penulis Tafsir Al-Azhar ini tidaklah ahli mendalam dalam segala macam segi ilmu Islam yang masyhur. Sebab dalam sejarah ilmu Islam sendiri demikian juga halnya. Ulama yang takhassus (spesialisasi) dalam Hadis, lemahlah dia dalam Ijtihad dan Fiqh. Ulama-ulama yang dapat mengistimbatkan hukum dari Al-Quran dan Hadis, kerapkali tidak kuat menghafal, yang kuat menghafal kerapkali tidak kuat memikir. Al-Ghazali indah uraian dan kupasannya, tetapi sangat lemah beliau dan soal menyaring Hadis-hadis. Di dalam Ulama di tanahair kitapun banyak terdapat ulama yang sangat mendalam pengertiannya dalam bahasa Arab, sehingga sanggup mengarang dan mengubah syair dalam bahasa itu, tetapi dia sangat lemah dalam bahasa Indonesia (atau Melayu) itu sendiri. Sehingga kealiman beliau tidak dirasai dan dikecap oleh orang banyak. Atau seperti pengarang “Tafsir” ini: Dikenal sebagai pengarang berpuluh-puluh buku Agama Islam dalam bahasa Indonesia, namun dia masih banyaklah kekurangan ilmu pengetahuan agama meskipun telah beroleh gelar Doctor H.C  dari Al-Azhar University dan pernah menjadi dosen dalam derjat professor dalam beberapa university, dan telah mengarang berpuluh-puluh buku mengenai filsafat agama. Dan yakinlah penulis “Tafsir” ini setelah berkecimpung di dalam dunia pengetahuan agama, menjadi guru besar dan mengarang kitab-kitab itu bahwa masih terlalu yang belum diketahui. Sehingga jika diperturutkanlah syarat-syarat ‘mempertakut-takuti” yang dijadikan dinding oleh Ulama-ulama tadi, tidak jugalah akan keluar sebuah tafsir yang akan menjadi pegangan dari dua golongan yang kita sebutkan tadi.
Maka sebelum masuk ke dalam gelanggang “Tafsir”  itu sendiri, terlebih dahulu di dalam kata pendahuluan ini hendaklah kita uraikan apakah Al-Quran itu dan apa yang diterjemah dan apa pula yang tafsir. Dan hendaklah kita terangkan juga pendirian penafsir sendiri dan haluannya, sehingga jika bertemu suatu hal yang tidak bertemu di dalam tafsir lain, dapatlah diketahui sebab-sebabnya, kerana mengetahui haluan dan faham si penafsir seketika dia menafsirkan.
Kita katakana demikian, lantaran tafsir-tafsir bahasa Arab yang terkenal sebagai pgangan ulama-ulama dikenal juga haluan pengarang-pengarang itu sendiri. Seumpama tafsir Razi, dikenal orang kecenderungan tafsirnya untuk membela mazhabnya, iaitu Mazhab Syafi’i. Dan kalau dibaca Tafsir al-Kasysyaaf dari Zamakhsyari, orang akan mengenal pembelaannya kepada Mazhab yang dianutinya iaitu Mu’tazilah. Dan kalau dibaca tafsir yang dikarang di akhir abad tigabelas Hijriyah (abad kesembilanbelas Miladiyah), iaitu Ruhul Ma’ani karangan al-Alusi, akan ternyatalah pembelaannya kepada Mazhab yang dianutnya kemudian. Iaitu Mazhab Hanafi dan dikritiknya dengan halus atau keras mazhab yang ditinggalkannya, iaitu Mazhab Syafi’i. Maka di dalam pendahuluan ini akan kita jelaskan juga haluan mana yang kita pilih.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan